Cililitan, sebuah nama yang begitu akrab di telinga warga Jakarta, khususnya Jakarta Timur.
Kawasan yang identik dengan hiruk pikuk terminal bus dan pusat perbelanjaan seperti Pusat Grosir Cililitan (PGC) ini ternyata menyimpan jejak sejarah yang jauh lebih tua dari gedung-gedung modern yang menjulang.
Banyak yang bertanya-tanya, dari mana sebenarnya asal-usul nama unik ini?
Jawabannya mungkin tersembunyi dalam pengaruh sebuah kerajaan besar dan aliran sungai yang pernah menjadi nadi kehidupan di masa lampau.
Asal-Usul Nama Cililitan dan Pengaruh Bahasa Sunda Kuno
Untuk menguak misteri nama Cililitan, kita harus membedahnya secara etimologis, atau ilmu tentang asal-usul kata.
Nama “Cililitan” sangat kuat indikasinya berasal dari bahasa Sunda Kuno, yang merupakan bahasa utama di wilayah ini sebelum menjadi Batavia.
Kata ini terdiri dari dua bagian: “Ci” dan “Lilitan”.
Awalan “Ci” adalah fonem yang sangat umum dalam toponimi atau penamaan tempat di Jawa Barat dan sekitarnya, yang berarti “air” atau “sungai”.
Kita bisa melihat contoh yang tak terhitung jumlahnya, seperti Ciliwung, Citarum, Cirebon, hingga Cilandak dan Cijantung di Jakarta sendiri.
Bagian kedua, “Lilitan”, berasal dari kata dasar “lilit” yang dalam bahasa Indonesia dan Sunda memiliki arti yang sama: melingkar, membelit, atau berkelok-kelok.
Jika digabungkan, “Cililitan” dapat diartikan secara harfiah sebagai “sungai yang melilit” atau “aliran air yang berkelok-kelok”.
Penamaan ini sangat masuk akal mengingat kondisi geografis Jakarta di masa lalu yang dialiri banyak sungai dan anak sungai yang berkelok sebelum akhirnya bermuara ke laut.
Teori ini diperkuat oleh fakta bahwa wilayah yang kini menjadi Jakarta merupakan bagian dari teritori Kerajaan Sunda, yang berpusat di Pakuan Pajajaran.
Informasi sejarah, seperti yang ditemukan dalam berbagai prasasti dan naskah kuno, menyebutkan pengaruh kuat Kerajaan Sunda di kawasan pelabuhan Sunda Kelapa.
Oleh karena itu, sangat wajar jika penamaan daerah-daerah di sekitarnya, termasuk Cililitan, menggunakan kosakata dari bahasa Sunda.
Nama ini menjadi bukti linguistik yang bertahan melintasi zaman, sebuah fosil bahasa yang menceritakan kondisi geografis dan penguasa wilayah di masa lalu.
Jejak Kerajaan Sunda di Tanah Batavia
Jauh sebelum dikenal sebagai Jakarta atau Batavia, wilayah ini adalah bagian integral dari Kerajaan Sunda.
Pelabuhannya, yang dikenal sebagai Kelapa, merupakan salah satu pelabuhan terpenting di nusantara.
Sumber-sumber sejarah primer, termasuk naskah kuno, mengonfirmasi bahwa kehidupan di sekitar pelabuhan ini sangat dipengaruhi oleh budaya dan administrasi Sunda.
Daerah pedalaman seperti Cililitan berfungsi sebagai penyangga dan wilayah agraris bagi pusat keramaian di pesisir.
Kawasan Cililitan yang dialiri oleh anak Sungai Ciliwung kemungkinan besar merupakan area yang subur dan strategis.
Aliran sungai tidak hanya menjadi sumber air untuk pertanian, tetapi juga jalur transportasi kecil yang menghubungkan daerah pedalaman dengan wilayah yang lebih dekat ke pesisir.
Keberadaan tokoh-tokoh penting seperti yang disebut dalam beberapa catatan sebagai “haji Sunda” juga mengindikasikan adanya komunitas Sunda yang mapan dan memiliki status sosial di wilayah ini.
Ini bukan sekadar pengaruh biasa, melainkan sebuah tatanan masyarakat yang berakar kuat pada budaya Sunda.
Ketika Fatahillah merebut Sunda Kelapa pada tahun 1527 dan mengubah namanya menjadi Jayakarta, pengaruh politik Kerajaan Sunda memang mulai memudar.
Namun, warisan budayanya, terutama dalam bentuk bahasa, tidak serta-merta lenyap.
Nama-nama tempat seperti Cililitan adalah peninggalan yang paling nyata dan bertahan lama.
Nama tersebut menjadi penanda abadi bahwa sebelum hiruk pikuk kota metropolitan, tanah ini pernah menjadi bagian dari sebuah medan hidup yang tenteram di bawah naungan Pajajaran.
Transformasi Cililitan: Dari Lapangan Terbang Perintis Menjadi Simpul Transportasi Modern
Memasuki era kolonial Belanda, wajah Cililitan mulai berubah secara drastis.
Jika sebelumnya dikenal sebagai kawasan agraris di pinggiran Batavia, pemerintah Hindia Belanda melihat potensi lain di lahan luas Cililitan.
Pada awal abad ke-20, dibangunlah sebuah lapangan terbang perintis yang diberi nama Vliegveld Tjililitan (Lapangan Terbang Cililitan).
Inilah cikal bakal dari salah satu bandara terpenting di Indonesia.
Lapangan terbang ini awalnya melayani penerbangan sipil dan militer, menjadi gerbang udara utama Batavia.
Setelah kemerdekaan Indonesia, lapangan terbang ini terus dikembangkan dan kemudian dikenal sebagai Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, diambil dari nama pahlawan nasional yang gugur dalam misi di masa revolusi.
Meski namanya berubah, lokasinya tetap berada di kawasan yang secara historis dikenal sebagai Cililitan, menunjukkan betapa melekatnya nama tersebut pada area ini.
Selain menjadi pusat aviasi, peran Cililitan sebagai simpul transportasi darat juga semakin menguat.
Pembangunan Terminal Bus Cililitan pada era modern menjadikannya salah satu titik transit utama yang menghubungkan berbagai rute di dalam dan luar kota Jakarta.
Kehadiran Jalan Tol Jagorawi yang melintas di dekatnya semakin memantapkan posisi strategis Cililitan.
Transformasi dari “sungai yang berkelok” menjadi “simpul transportasi yang sibuk” adalah cerminan dari dinamika pembangunan kota Jakarta yang tak pernah berhenti.
Akulturasi Budaya: Titik Temu Sunda, Betawi, dan Melayu
Sejarah Cililitan adalah potret sempurna dari proses akulturasi budaya yang membentuk Jakarta.
Meski fondasi namanya berasal dari bahasa Sunda, seiring berjalannya waktu, gelombang migrasi dan interaksi sosial melahirkan budaya baru yang khas, yaitu budaya Betawi.
Bahasa Betawi, seperti yang dijelaskan dalam banyak kajian, merupakan hasil percampuran dinamis antara bahasa Melayu Pasar, Sunda, Jawa, Arab, Cina Selatan, hingga Eropa.
Di Cililitan, jejak-jejak percampuran ini terasa sangat kental.
Pengaruh Sunda bertahan pada toponimi, sementara kehidupan sehari-hari dan dialek masyarakatnya berevolusi menjadi Betawi.
Bahasa Melayu Kuna yang menjadi lingua franca di pelabuhan menjadi dasar bagi terbentuknya bahasa Betawi.
Dengan demikian, Cililitan adalah sebuah mikrokosmos Jakarta: sebuah area dengan nama Sunda, yang dihuni oleh masyarakat berbudaya Betawi, dan terus berkembang dengan sentuhan modernitas.
Ini menunjukkan bahwa identitas sebuah tempat tidaklah tunggal, melainkan berlapis-lapis, dibentuk oleh setiap zaman yang dilaluinya.
Kini, saat kita melewati kawasan Cililitan, entah terjebak macet di depan PGC atau sedang menunggu bus di terminal, ada baiknya kita mengingat kembali sejarah panjangnya.
Nama yang kita sebut setiap hari itu adalah sebuah jembatan waktu.
Jembatan yang menghubungkan kita dengan aliran sungai berkelok di masa lampau, dengan kejayaan Kerajaan Sunda, dan dengan proses panjang pembentukan identitas Jakarta yang majemuk.
Jadi, benarkah nama Cililitan berasal dari bahasa Sunda? Semua bukti linguistik dan historis dengan kuat mengarah pada jawaban “iya”.
Nama tersebut adalah warisan tak ternilai yang menceritakan babak awal sejarah tanah tempat kita berpijak saat ini.
Sebuah pengingat bahwa di balik beton dan aspal kota modern, selalu ada cerita dari masa lalu yang menunggu untuk didengarkan.
Cililitan bukan sekadar nama, melainkan sebuah prasasti hidup dari peradaban Sunda di jantung Indonesia.