Herman Hollerith dan Mesin Hitung Nazi: Teknologi di Balik Tragedi Holocaust

Herman Hollerith dan Mesin Hitung Nazi: Teknologi di Balik Tragedi Holocaust

Kisah Herman Hollerith adalah cerita tentang inovasi yang luar biasa, sebuah lompatan kuantum dalam dunia pengolahan data.
Namanya mungkin tidak sepopuler Thomas Edison atau Alexander Graham Bell, namun penemuannya menjadi fondasi bagi era digital.
Teknologinya, sebuah mesin tabulasi yang dipatenkan untuk penyimpanan data sejak 23 September 1884, pada awalnya dirancang untuk efisiensi.
Namun, puluhan tahun setelah kematiannya, warisan teknologinya akan digunakan untuk tujuan yang paling mengerikan oleh rezim Nazi Jerman.

Artikel ini akan mengupas tuntas perjalanan Herman Hollerith, dari seorang inovator jenius hingga bagaimana teknologinya secara tak langsung menjadi alat dalam salah satu genosida terburuk dalam sejarah manusia.
Kita akan menelusuri bagaimana mesin yang dirancang untuk menghitung sensus justru menjadi mesin yang menghitung nyawa untuk dimusnahkan.

 

Siapakah Herman Hollerith? Sang Jenius di Balik Kartu Pon

Siapakah Herman Hollerith? Sang Jenius di Balik Kartu Pon

Lahir di Buffalo, New York, pada tahun 1860 dari imigran Jerman, Herman Hollerith adalah seorang insinyur dan ahli statistik yang brilian.
Ia menyaksikan sebuah krisis efisiensi besar pada masanya: Sensus Amerika Serikat tahun 1880 memakan waktu hampir delapan tahun untuk dihitung.
Pemerintah AS khawatir sensus berikutnya, tahun 1890, akan memakan waktu lebih dari satu dekade, membuatnya usang sebelum selesai.

Terinspirasi oleh kartu yang digunakan pada alat tenun Jacquard untuk menciptakan pola kain secara otomatis, Hollerith memiliki ide revolusioner.
Bagaimana jika data demografis setiap individu—usia, jenis kelamin, asal negara—dapat direpresentasikan sebagai lubang pada selembar kartu?
Konsep ini melahirkan sistem kartu pon (punch card) dan mesin tabulasi elektromekanis pertama di dunia.

Cara kerjanya cerdas: kartu-kartu yang telah dilubangi dimasukkan ke dalam mesin.
Jarum-jarum akan melewati lubang dan menyentuh kontak merkuri di bawahnya, menutup sirkuit listrik.
Setiap sirkuit yang tertutup akan menggerakkan sebuah penghitung mekanis, mengakumulasi data dengan kecepatan yang tak terbayangkan saat itu.
Dengan mesin ini, sensus AS tahun 1890 selesai hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun, sebuah pencapaian fenomenal.

 


 

Dari Tabulating Machine Company Menuju Kelahiran IBM

Dari Tabulating Machine Company Menuju Kelahiran IBM

Kesuksesan besar pada sensus AS mendorong Hollerith untuk mengkomersialkan penemuannya.
Pada tahun 1896, ia mendirikan Tabulating Machine Company, menyewakan mesinnya ke berbagai biro sensus di seluruh dunia dan perusahaan kereta api.
Teknologinya menjadi standar emas dalam pengolahan data skala besar, sebuah monopoli awal di bidang yang kemudian kita kenal sebagai teknologi informasi.

Pada tahun 1911, perusahaannya bergabung dengan tiga perusahaan lain untuk membentuk Computing-Tabulating-Recording Company (CTR).
Titik balik terjadi ketika seorang penjual ulung bernama Thomas J. Watson, Sr. direkrut untuk memimpin CTR pada tahun 1914.
Dengan visinya yang tajam dan slogan terkenalnya, “THINK”, Watson mengubah perusahaan tersebut menjadi raksasa global.
Pada tahun 1924, nama perusahaan secara resmi diubah menjadi International Business Machines Corporation, atau yang kita kenal sekarang sebagai IBM.

 

 

 

 


 

Dehomag: Cabang IBM di Jantung Nazi Jerman

Dehomag: Cabang IBM di Jantung Nazi Jerman

Hubungan antara teknologi Hollerith dan Nazi terjalin melalui Dehomag (Deutsche Hollerith-Maschinen Gesellschaft).
Dehomag adalah anak perusahaan IBM di Jerman, yang sudah beroperasi jauh sebelum Hitler berkuasa.
Ketika rezim Nazi naik pada tahun 1933, sebagian besar perusahaan Amerika menarik diri, namun IBM, di bawah pimpinan Watson, justru menggandakan investasinya.

Nazi memiliki obsesi terhadap kemurnian ras dan kebutuhan mendesak untuk mengidentifikasi serta mengkatalogkan populasi mereka.
Mereka membutuhkan alat yang efisien untuk melakukan sensus yang tidak hanya menghitung jumlah, tetapi juga melacak garis keturunan dan afiliasi agama.
Teknologi Hollerith, yang kini dimiliki dan disempurnakan oleh IBM, adalah solusi yang sempurna.

Menurut investigasi mendalam oleh penulis Edwin Black dalam bukunya “IBM and the Holocaust”, IBM tidak hanya mengetahui tujuan Nazi.
Perusahaan induk di New York secara aktif menyediakan teknologi, suku cadang, dan bahkan merancang kartu pon khusus untuk kebutuhan identifikasi rasial Nazi.
Teknisi IBM secara rutin mengunjungi Jerman untuk memastikan mesin-mesin Dehomag berjalan dengan lancar.

 


 

Bagaimana Kartu Pon Memfasilitasi Genosida

Bagaimana Kartu Pon Memfasilitasi Genosida

Teknologi ini menjadi tulang punggung birokrasi Holocaust. Sensus Nazi tahun 1933 dan 1939 adalah langkah pertama.
Setiap warga negara diwajibkan mengisi formulir yang menanyakan tidak hanya agama mereka, tetapi juga agama orang tua dan kakek-nenek mereka.
Data ini kemudian ditransfer ke kartu pon Hollerith oleh ribuan juru tulis.

Setiap kartu memiliki kolom-kolom spesifik. Kolom 1 untuk negara, kolom 2 untuk jenis kelamin, dan seterusnya.
Kode numerik khusus dialokasikan untuk setiap data: kode 3 untuk Yahudi, 11 untuk Gipsi (Roma), dan lainnya.
Begitu data terkumpul, mesin penyortir Hollerith dapat dengan cepat memisahkan kartu-kartu milik individu yang dianggap “musuh negara”.
Dalam hitungan jam, Nazi bisa menghasilkan daftar nama dan alamat orang Yahudi di seluruh kota atau wilayah.

Efisiensi ini sangat mematikan. Teknologi IBM digunakan untuk mengorganisir penangkapan massal dan mengatur jadwal kereta api menuju kamp konsentrasi.
Di dalam kamp, sistem kartu pon terus digunakan untuk melacak tahanan, mengalokasikan tenaga kerja paksa, dan bahkan menghitung jumlah kematian.
Logistik genosida, dari identifikasi hingga pemusnahan, didukung dan dipercepat oleh mesin hitung ini.

 


 

Warisan Kontroversial dan Tanggung Jawab Teknologi

Warisan Kontroversial dan Tanggung Jawab Teknologi

Herman Hollerith meninggal pada tahun 1929, empat tahun sebelum Nazi berkuasa dan lebih dari satu dekade sebelum Holocaust mencapai puncaknya.
Ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban langsung atas penyalahgunaan teknologinya. Ia adalah seorang inovator, bukan seorang ideolog kebencian.
Namun, warisannya menjadi sebuah studi kasus yang mengerikan tentang bagaimana sebuah alat netral dapat menjadi instrumen kejahatan.

Kontroversi yang sesungguhnya terletak pada IBM dan kepemimpinan Thomas J. Watson.
Kritikus berpendapat bahwa IBM sadar sepenuhnya bagaimana teknologi mereka digunakan dan memilih keuntungan di atas moralitas.
IBM secara konsisten berargumen bahwa mereka kehilangan kendali atas anak perusahaan mereka, Dehomag, selama perang.
Namun, bukti sejarah menunjukkan adanya komunikasi dan dukungan berkelanjutan dari kantor pusat IBM di New York kepada Dehomag.

Kisah ini menjadi pengingat abadi tentang tanggung jawab etis yang melekat pada inovasi teknologi.
Di era modern dengan Big Data, kecerdasan buatan, dan teknologi pengawasan, pelajaran dari mesin Hollerith menjadi lebih relevan dari sebelumnya.
Sebuah algoritma atau sistem, secanggih apa pun itu, tetaplah alat yang diciptakan dan dikendalikan oleh manusia.

Kisah Herman Hollerith adalah tragedi dua babak. Babak pertama adalah tentang kecerdasan manusia yang melahirkan efisiensi baru untuk memecahkan masalah-masalah besar.
Babak kedua, yang terjadi setelah kematiannya, adalah tentang bagaimana efisiensi yang sama dapat diputarbalikkan untuk melayani tujuan yang paling tidak manusiawi.
Warisan mesin hitungnya adalah pengingat yang kuat bahwa di balik setiap baris kode, setiap sirkuit, dan setiap titik data, terdapat potensi untuk kebaikan yang luar biasa atau kejahatan yang tak terkatakan. Pilihan selalu ada di tangan kita.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *