Di tengah hiruk pikuk Jakarta sebagai kota metropolitan, tersimpan banyak sekali warisan budaya yang masih dijaga ketat oleh komunitasnya.
Salah satu permata tersembunyi tersebut adalah tradisi pencak silat, khususnya yang berkembang di kawasan Menteng Atas.
Kisah tentang Silat di Bunder Menteng Atas bukan hanya cerita tentang seni bela diri, melainkan juga tentang identitas, komunitas, dan sejarah yang mengakar kuat.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk tradisi silat di area yang unik ini.
Kita akan menelusuri dari mana nama Menteng Atas berasal, apa makna dari ‘Bunder’ dalam konteks ini, hingga filosofi yang terkandung dalam setiap gerakannya.
Ini adalah perjalanan untuk memahami bagaimana maen pukulan Betawi terus hidup dan beradaptasi di jantung ibu kota.
Asal-Usul Nama Menteng Atas dan Akar Tradisi Silat
Menteng Atas, sebuah kelurahan di Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, memiliki sejarah nama yang sederhana namun sarat makna.
Berdasarkan catatan dan cerita turun-temurun, daerah ini dulunya ditumbuhi banyak pohon menteng.
Keberadaan pohon-pohon inilah yang kemudian menjadi cikal bakal penamaan kawasan tersebut oleh masyarakat sekitar, menjadi “Kampung Menteng”.
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya komunitas, tradisi budaya Betawi pun ikut tumbuh subur, salah satunya adalah maen pukulan atau silat.
Bagi masyarakat Betawi, silat bukan sekadar kemampuan berkelahi, tetapi juga bagian dari kehormatan (marwah) dan cara untuk menjaga kampung halaman.
Di setiap sudut kampung yang guyub, hampir pasti ada sebuah sanggar atau perkumpulan silat yang menjadi pusat kegiatan para pemuda.
Keterkaitan antara lingkungan dan tradisi ini sangat erat.
Ruang-ruang terbuka di antara rimbunnya pepohonan menjadi arena alami bagi para jawara untuk berlatih dan mewariskan ilmunya.
Inilah fondasi yang menjadikan Menteng Atas sebagai salah satu kantong budaya Betawi yang penting di Jakarta Selatan.
Menguak Misteri ‘Bunder’: Pusat Komunitas dan Arena Latihan
Istilah “Bunder Menteng Atas” mungkin tidak akan Anda temukan di peta resmi seperti Google Maps.
Nama ini lebih bersifat informal dan komunal, merujuk pada sebuah lokasi spesifik yang menjadi titik kumpul para praktisi silat.
Kata ‘Bunder’ kemungkinan besar mengacu pada sebuah tanah lapang, persimpangan jalan, atau area terbuka berbentuk bundar.
Tempat-tempat seperti ini memegang peranan krusial dalam kehidupan sosial masyarakat Betawi tempo dulu.
Ia berfungsi sebagai alun-alun mini tempat warga berinteraksi, anak-anak bermain, dan tentu saja, para pemuda berlatih silat di sore hari.
Fenomena penamaan lokasi berdasarkan bentuk fisik seperti ini juga ditemukan di daerah lain, misalnya konteks “Bunder 1” di Pamijahan, Bogor.
Di Bunder Menteng Atas inilah, berbagai aliran (gaya) maen pukulan bertemu dan saling bertukar ilmu.
Tempat ini menjadi saksi bisu dari ribuan gerakan, keringat, dan semangat yang dicurahkan untuk melestarikan warisan leluhur.
Bunder menjadi simbol ruang publik yang hidup, tempat di mana identitas komunal ditempa melalui latihan fisik dan disiplin mental.
Bunder lebih dari sekadar arena; ia adalah jantung komunitas.
Di sinilah nilai-nilai seperti solidaritas, saling menghormati, dan tanggung jawab diajarkan secara tidak langsung.
Seorang pesilat tidak hanya belajar cara memukul dan menangkis, tetapi juga belajar menjadi anggota masyarakat yang baik.
Maen Pukulan Betawi: Lebih dari Sekadar Seni Bela Diri
Istilah “silat” dan “maen pukulan” sering digunakan silih berganti, namun maen pukulan memiliki kekhasan tersendiri dalam konteks budaya Betawi.
Ia menekankan pada efektivitas gerakan dalam pertarungan jarak dekat, dengan kecepatan dan ketepatan sebagai kunci utamanya.
Ini adalah cerminan dari karakter masyarakat Betawi yang ceplas-ceplos, praktis, dan tidak suka bertele-tele.
Namun, di balik kebrutalan gerakannya, tersimpan nilai seni dan filosofi yang dalam.
Setiap jurus memiliki nama dan makna, sering kali terinspirasi dari gerakan hewan atau aktivitas sehari-hari.
Harmoni antara gerakan yang keras dan ritme yang indah inilah yang membuat maen pukulan juga memikat untuk ditonton, seperti dalam acara palang pintu di pernikahan adat Betawi.
Berbeda dengan institusi silat yang lebih formal seperti yang bisa ditemui di “Silat TMII”, maen pukulan di Bunder Menteng Atas cenderung lebih tradisional.
Ilmu diwariskan secara langsung dari guru ke murid dalam hubungan yang sangat personal.
Latihannya sering kali keras dan tanpa kompromi, membentuk mental yang tangguh dan tidak mudah menyerah.
Dalam perkembangannya, dokumentasi modern seperti menggunakan kamera aksi sekelas GoPro HERO12 Black bisa membantu melestarikan gerakan-gerakan otentik ini.
Merekam setiap jurus dari sudut pandang pertama (POV) dapat menjadi arsip digital yang tak ternilai bagi generasi mendatang.
Ini adalah jembatan antara tradisi lisan yang kuat dengan kebutuhan pelestarian di era digital.
Syarat dan Filosofi di Balik Kebugaran Seorang Pesilat
Salah satu syarat yang sering terdengar dalam dunia persilatan Betawi adalah calon murid harus memiliki “anggota tubuh yang sempurna”.
Frasa ini sering disalahartikan sebagai tuntutan kesempurnaan fisik tanpa cacat.
Namun, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar penampilan luar.
“Anggota tubuh yang sempurna” berarti memiliki tubuh yang fungsional dan lengkap untuk dapat menjalankan semua gerakan silat dengan benar dan aman.
Ini adalah bentuk kehati-hatian dari sang guru untuk memastikan muridnya tidak celaka saat berlatih teknik yang berisiko tinggi.
Ini adalah tentang fungsi, bukan estetika; tentang kemampuan, bukan penampilan.
Filosofi ini juga mengajarkan pentingnya menjaga tubuh sebagai anugerah.
Seorang pesilat dilatih untuk mengenal setiap jengkal tubuhnya, memahami batas kemampuannya, dan terus berusaha meningkatkannya melalui latihan yang disiplin.
Kesehatan fisik dan mental adalah modal utama yang harus dijaga dengan baik.
Lebih jauh lagi, disiplin fisik ini adalah cerminan dari disiplin rohani.
Seorang jawara sejati tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga memiliki hati yang lurus, adil, dan rendah hati.
Ilmu silat yang tinggi harus diimbangi dengan akhlak yang mulia, karena kekuatan tanpa kendali hanya akan membawa kehancuran.
Keberadaan tradisi Silat di Bunder Menteng Atas adalah bukti nyata bahwa budaya lokal mampu bertahan di tengah gempuran modernisasi.
Ia adalah warisan yang hidup, bernapas, dan terus beradaptasi dengan zaman, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya di ruang-ruang komunal yang sederhana.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa di setiap sudut kota besar, selalu ada cerita tentang identitas dan kegigihan yang menolak untuk dilupakan.
Menjaga tradisi seperti maen pukulan bukan hanya tugas masyarakat Menteng Atas, tetapi tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa.